Di Yunani kuno, terdapat sandal dengan tudung yang disebut "kothorni", atau yang dikenal sebagai "buskin" pada zaman Renaissance. Kothorni adalah sepatu dengan sol tinggi yang terbuat dari kayu atau gabus yang populer terutama di kalangan aktor pertunjukan yang akan mengenakan sepatu yang lebih tinggi untuk menunjukkan status sosial mereka. Di Romawi kuno, pelacuran adalah hal dilegalkan, dan para pelacur wanita dapat dengan mudah dikenali dengan sepatu hak tinggi yang mereka kenakan sebagai ciri khas.
Selama Abad Pertengahan, baik laki-laki maupun perempuan memakai "patten", sejenis sepatu dengan sol tinggi terbuat dari kayu. Sepatu-sepatu tersebut merupakan cikal bakal dari sepatu hak tinggi. Sol tinggi dari kayu ini berfungsi untuk menjaga agar sepatu terhindar dari lumpur dan puing-puing lain di jalanan ketika berjalan di luar ruangan.
Sepatu
dengan tumit yang tinggi juga digunakan oleh para pengendara kuda di
Timur Tengah yang menggunakan sepatu hak tinggi untuk memudahkan kaki
pengendara agar tetap berada di sanggurdi. Hal ini seperti yang
digambarkan pada sebuah mangkuk keramik yang berasal dari abad ke-9
dari Persia.
Pada abad ke-15, sejenis sepatu berplatform yang dinamakan "chopines",
diciptakan di Turki dan populer di seluruh Eropa sampai pertengahan
abad ke-17. Chopines hanya digunakan secara eksklusif oleh perempuan.
Tinggi chopines ini dapat berkisar dari 7 sampai 30 inchi, sehingga
dibutuhkan tongkat atau pelayan untuk membantu mereka yang mengenakannya
ketika berjalan. Chopines biasanya dirancang dengan gabus atau kayu
yang ditumpuk pada bagian tumitnya. Orang-orang Venesia kemudian
membuat chopines menjadi simbol status sosial dan kekayaan bagi para
wanita. Selain itu sepatu hak tinggi ini juga digunakan agar para
wanita menjadi sulit untuk bergerak sehingga dapat mencegah wanita
untuk berselingkuh atau kabur dari rumah suaminya.
Pada tahun 1533, laki-laki sudah
mulai mengenakan sepatu hak lagi. Istri Raja Prancis Henry II, Ratu
Catherine de' Medici yang berasal dari Italia, menugaskan seorang
tukang sepatu untuk menciptakan sepatu bergaya dengan hak yang lebih
tinggi dan merupakan adaptasi perpaduan dari chopines dan patten
(dimana sol kayu ditinggikan baik pada bagian tumit dan jari kaki)
yang dimaksudkan untuk melindungi kaki pemakainya dari debu kotoran
dan lumpur. Tetapi tidak seperti chopines, sepatu rancangannya ini
memiliki bagian tumit yang lebih tinggi dari jari kaki. Sepatu dengan
model ini kemudian dipakai secara luas di Italia, yang kemudian
diwajibkan dan melarang pemakaian chopine.
Sepatu hak tinggi ini kemudian dengan
cepat mendapat perhatian dari para pemerhati mode dari Perancis dan
kemudian menyebar ke negara-negara lainnya. Baik pria maupun wanita
terus mengenakan sepatu hak tinggi mengikuti mode keluarga kerajaan
sepanjang abad ke-17 dan ke-18. Ketika Revolusi Perancis terjadi di
akhir abad 18, pemakaian sepatu hak tinggi menjadi amat dibenci karena
asosiasi para pemakainya dengan kekayaan dan kebangsawanan. Sepanjang
sebagian besar abad ke-19, sepatu dan sandal dengan hak datar biasa
digunakan oleh pria maupun wanita. Pada akhir abad 19, sepatu hak tinggi
mulai muncul kembali dalam mode dan menjadi sangat populer digunakan
terutama di kalangan wanita sampai saat ini.